Awal Perjalanan Hidup

Perjalanan hidup saya dimulai dengan lahirnya seorang bayi disebuah desa dari pasangan suami istri yang bekerja sebagai petani sekaligus pedagang. Desa tersebut namanya Desa Benuang yang terletak di kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan.

Bayi tersebut adalah saya yang diberi nama Iswadi Idris yang katanya nama tersebut mirip dengan nama legenda sepakbola Indonesia pada era 70-an dan memang saya dilahirkan pada tahun 1978.

Masa kecil saya dihabiskan di alam pedesaan yang masih terisolir karena akses untuk kedesa kami hanya jalan tanah yang belum terjamah pembangunan meskipun jalan tersebut merupakan jalan lintas yang menghubungkan banyak desa.

Kondisi jalan yang belum diaspal menyebabkan akses ke desa kami sering terputus karena kubangan lumpur yang terjadi saat musim penghujan.
Melihat mobil truk yang gak bisa jalan terjebak dalam kubangan tanah merah yang becek bukan pemandanga aneh lagi karena memang waktu itu mobil yang lewat di desa kami paling cuma truk pengangkut karet atau mobil pertamina seperti Daihatsu Taft 4x4.

Sebagian besar masyarakat desa Benuang bekerja sebagai petani karet (penghasilan utama ) dan berkebun padi sebagai sampingan. Jadi setiap pagi rutinitas mereka adalah pergi ke kebun Karet untuk nyadap atau bahasa kami mantang balam.

Karena kondisi perekonomian yang tidak memungkinkan ditambah lagi kurangnya kesadaran sebagian orang tua akan arti pentingnya pendidikan sehingga banyak anak-anak seusia saya yang tidak dapat menikmati bangku pendidikan Sekolah Dasar meski ada juga yang bisa bersekolah tapi harus membantu orang tua mencari uang dengan ikut menyadap karet.

Saya termasuk salah satu anak yang beruntung didesa kami yang bisa menikmati bangku Sekolah Dasar tanpa harus membantu orang tua mencari uang untuk biaya sekolah.

Seperti kebanyakan anak-anak seusia saya , kehidupan kami sehari-hari diisi dengan bermain dan hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan belajar meskipun kami sudah bersekolah tidak peduli apakah hari libur atau bukan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengarahan dari orang tua akan arti pentingnya belajar bagi pendidikan dan masa depan kita. Keadaan ini bisa dimaklumi karena memang pendidikan orang tua kita juga hanya tamatan Sekolah Dasar.

Masa kecil kami yang seakan punya motto “Tiada Hari Tanpa Bermain” membuat kami selalu memanfaatkan waktu untuk bermain. Ada banyak Jenis Permainan tradisional anak-anak pada masa kami dulu yang sebagian besar sudah hilang di zaman modern sekarang karena anak-anak sekarang sudah terbiasa dengan permainan berteknologi modern seperti Play Station, Mobil atau Helikopter dengan Remote Control dan masih banyak permainan modern lainnya yang selalu bermunculan dengan harga yang tentunya tidak murah alias mahal sehingga banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati hanya karena keterbatasan ekonomi orang tuanya.

Permainan tradisional anak-anak didesa kami bisa dimainkan oleh siapa saja karena tidak harus dibeli, kalaupun harus membeli biasanya harganya sangat murah. Biasanya kami membuat sendiri mainan dari bahan-bahan yang banyak tersedia di kampung seperti:

1. Layangan (layang-layang) dibuat dari bambu dan kantong asoy (kresek) dengan perekat getah karet ,
2. Mobil-mobilan dari kayu dengan roda dari karet sandal jepit
3. Mobil-mobilan dari velg sepeda/motor yang tidak terpakai lagi
4. Pedil-pedilan (Senapan dari bambu)dengan puluru kertas atau buah ‘keliat’
5. Lanting (perahu rakit) dari batang pisang yang dimainkan di sungai .

Permainan lainnya adalah (maaf ya bahasa daerah) :
1. Mebuat gunung dari tanah yang diberi rongga kemudian diisi api, biasanya dilakukan malam hari
2. Main dimput dengan menggunakan pecahan genteng yang disusun, dijaga oleh satu orang kemudian yang lain berusaha untuk menghancurkan susunan tersebut.
3. Jang ju (bingung menjelaskan)
4. Ret Se Reret (bingung menjelaskan)
5. Ayam-ayaman (bingung menjelaskan)
6. Dan masih banyak lagi..( saya sendiri sudah lupa )

Adalagi permainan dengan menggunakan karet dengan berbagai macam nama permainan, kemudian ekar ( kelerang) juga dengan berbagai macam nama permainan.

Selain bermain kami juga suka mencari ikan disungai dengan mengunakan Pancing, Jaring, Tangkul dan ada juga alat seperti bubu, penilar, serkap dan lansatan.
Jika musin kemarau tiba kami mencari ikan dengan cara “nimbe” artinya sungai yang dangkal di buat pembatas seperti DAM istilah kampungnya di “tebat” agar airnya tidak mengalir dan ikan terkeumpul pada satu tempat kemudian sungai tersebut dikeringkan (ditimbe) dengan mengeluarkan air sungai yang telah didam tadi menggunakan ember dan peralatan sejenisnya. Setelah sungai hampir kering dan mulai kelihatan ikannya maka itulah saatnya kita beraksi untuk menangkap ikan tersebut.

Ada lagi tradisi mencari ikan secara beramai-ramai yang dilakukan oleh warga desa bahkan biasa lebih dari satu desa disebuah sungai yang terkenal banyak ikannya, tradisi ini biasa disebut bekarang kalo dulu sungai yang paling terkenal yaitu rantau panjang.

Sekedar mengingat aja nama-nama ikan yang ada di desa kami yang saya ingat antara lain : ikan roan (gabus), keli (lele), betok, kepo, ikan tanah, seluang, sepat, sengiring, ikan aji, tempale, bujuk, pilook, toman, lundu, setumbuk bano, palau dan lain-lain. Namun karena kondisi sungai yang tidak memadai ditambah lagi adanya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang sering meracuni ikan-ikan tersebut maka sebagian dari jenis ikan tersebut sudah sulit untuk didapat.

Tak hanya sampai disitu, ada lagi kegiatan yang sangat menarik bagi kami yaitu masuk hutan dengan membawa ketapel atau senapan angin (pedil burung) untuk mencari binatang dihutan khususnya burung yang masih banyak terdapat disana sambil mencari buah-buahan yang ada dihutan baik yang tumbuh liar ataupun yang sengaja ditanam ( lho.. kok buah-buahan yang sengaja ditanam kok diambil… berarti mencuri dong… hehehe… jadi malu …biasalah namanya juga anak-anak).

Selain menggunakan ketapel dan senapan angin, ada cara lain yang dapat dilakukan dalam mencari burung atau binatang dihutan yaitu dengan membuat perangkap yang namanya : repas dan jerat untuk binatang yang berjalan ditanah, senggot untuk ular.
Sedangkan untuk burung biasanya menggunakan alat yang disebut polot yaitu lem yang terbuat dari getah karet dicampur dengan getah nangka kemudian dimasak lalu di tempelkan pada lidi atau bambu yang sudah dibuat seperti tusuk sate tapi dengan ukuran yang lebih panjang lalu lidi atau bambu tersebut dimasukan dalam campuran getah yang sedang dimasak tadi.

Polot ini biasanya digunakan untuk menangkap burung yang ada dipohon yang rendah atau yang sedang mandi disungai yang hampir kering ( biasanya dimusim kemarau) dengan cara meletakkan polot ini diranting pohon tempat burung bertengger sebelum mandi.

Sekedar mengingat juga nama-nama burung yang ada didesa kami : perba tanduk, perba pisang, percang, kutilang, pelencet, kelelisap, andis, puyuh, burung ayam, burung tanah, beliwis, murai, dekot, beruge ( sejenis ayam), punai, bekake dan lain-lain.
Sedangkan untuk buah-buahannya antara lain : tayas, kedeper, macang, kuini, pong, ketupak, romanas, kepala jago’, ridan, kenidai, malangkubu, malangtanggai, rukam, dian, jambu puan, rambai, manggus, kayu nyamok, arang-arang, setul, raman, jentekan, buah rotan, rendingan, seletup dan masih banyak lagi yang saya sendiri sudah lupa.

Saya sengaja berusaha untuk menyebutkan nama-nama permainan, ikan, burung, buah-buahan dan yang lainnya agar apabila suatu saat nanti hal-hal yang saya sebutkan tadi sudah tidak ada lagi maka setidaknya bisa menjadi bahan kenangan bagi yang pernah mengetahuinya atau jadi tambahan pengetahuan bagi generasi berikutnya.

Jadi jika ada kesalahan dalam penulisan nama-nama tersebut diatas saya mohon maaf atau jika ada yang belum saya sebutkan ( karena saya lupa atau tidak tahu sama sekali ) silahkan tambahkan di kolom komentar dibawah postingan ini.

Oh ya saya lupa cerita kalau didesa saya dulunya di kelilingi oleh empat aliran sungai yaitu : sungai rerek, sungai benuang, sungai kedat dan satu lagi saya lupa namanya karena sebenarnya bukan sungai ( cuma aliran air biasa )
Begitulah gambaran keseharian saya didesa, tidak pernah terpikirkan untuk belajar agar bisa mencapai cita-cita ( soalnya dulu belum tau apa itu cita-cita.. jadinya kita gak punya cita-cita..) hanya menjalani hidup apa adanya.


0 comments: